Langsung ke konten utama

Ego

Menjadi anak satu-satunya seringkali dipandang sangat menyenangkan. Menjadi satu-satunya yang dicinta, yang diberi limpahan kasih sayang, hingga upaya terbaik dari orang tua. Sebab, ialah satu-satunya yang bisa menjadi harapan. 

Sejenak, begitu menyenangkan menjadi anak satu-satunya. Tapi tahukah, bahwa tak selamanya indah menjadi satu-satunya. Sebab, pundak terasa lebih berat. Harapan orang tua, keluarga, hanya bertumpu padanya. Tatkala memiliki masalah, tiada yang dapat diajaknya sekadar berbicara ataupun bertukar cerita. Tak jarang air mata disimpan sendiri, sebab tiada orang yang bisa ia ajak berbagi.

Anak semata wayang. Tak kukatakan semua memiliki kesamaan watak, tapi aku hanya ingin berbagi bagaimana karakter si 'anak pertama' versiku. 

Sejak kecil, ketika ayah pergi dan pulang membawa makanan, aku-lah satu-satunya yang dengan antusias diberi. Akulah satu-satunya yang menerima. Tiada rebutan antar adik kakak, pun adegan memotong kue lumpur satu bagi tiga atau lima. Mana yang kusuka, dapat kumakan. Sebab, ibu hanya memakan apa yang tidak kupilih.

Seorang 'aku' tumbuh dengan ambisi dan ego yang besar. Dan entah kenapa hingga sekarang aku masih merasakan ego itu bersemayam dalam diri. Aku merasa semua harus berjalan sebagaimana inginku. Pencapaian, prestasi, selalu ingin nomor satu. Padahal, dunia tak selamanya di atas. Roda terus berputar.

Di dunia pendidikan, aku terbiasa berprestasi. Meski tidak selalu ranking satu, aku tetap pintar di mata guru-guru. Aku kerap kali berusaha memberikan yang terbaik untuk menghasilkan output yang aku inginkan. 

Di dunia pertemanan, entah mengapa egois sekali. Aku memaksa orang lain menjadikan aku satu-satunya temannya, sebab aku pun menjadikannya satu-satunya temanku. Mungkin bukan dikatakan teman, lebih dikatakan sebagai sahabat. Entah ini normal atau tidak, aku merasa cemburu tatkala kawanku ini memiliki kawan baru. Ataukah kawanku ini bermain dengan orang lain. Mungkin karena aku sudah terbiasa dijadikan satu-satunya yang diberi limpahan kasih sayang, sehingga ketika perhatian dan kasih sayang tersebut juga diberikan kepada orang lain, aku merasa kesal.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melepas, Tak Menghempas

Tersadar sepenuhnya, bahwa pertemuan merupakan hal paling dinanti bagi siapapun yang telah lama terpisah oleh jarak. Tapi, bagaimana ceritanya tatkala pertemuan terjadi, setelah hati ikut pula berhenti tertaut?  Saat perpisahan kala itu, tiada sepatah kata keluar dari mulut engkau. Bahkan tatap mata saja tidak. Lalu, empat tahun jarak membentang di antara rongga rindu yang menggebu. Engkau sibuk dengan dunia yang baru, aku sibuk dengan duniaku.  Empat tahun, engkau sibuk menerka rasa sesal di ulu hati yang semakin ngilu. Aku tertawa dengan pencapaian untuk membalas egoku yang pernah tersakiti olehmu. Engkau sibuk menyimpan rasa rindu yang sudah membiru. Aku membakar rasa rindu yang sudah memburu. Engkau menghabiskan waktu berkelakar dengan amarah sebab rasa bersalah. Aku tersenyum sumringah sebab air mata menetespun sudah lelah. Kemudian, sebuah pertemuan kembali membuat hati kita berdarah. Sebab, sakit yang dirasakan masih saja sama. Rupanya, usahaku membunuh rindu adalah kesia-siaan

Manis

Sudah berapa air mata mengagungkan sabda? Meraung setiap rumit ditelan pahit. Sebab, segala ingin hanya berlalu angin. Sebab, perihal harap hanya berujung ratap. Usai menulis mimpi, nyatanya tak sesuai ekspektasi. Padahal, rasa pahit tak mesti sakit. Tatkala engkau menelan obat, rasa pahit menyeruak. Padahal, ia adalah salah satu rasa menuju pulih. Biarkan pahit itu sampai di tenggorokan, dan bekerja menyembuhkan apa yang kau keluhkan. Pun tak semua manis adalah baik. Tatkala engkau candu akan manisnya minuman kemasan, kau teguk berliter dalam semalam. Maka, selamat datang berbagai penyakit yang akan menghadirkan pahit di akhir. Pun setiap jalan kehidupan. Manis berlebih juga tak selamanya berujung apik. Sesekali merasakan pahit agar segala luka kembali pulih.