Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2023

Ego

Menjadi anak satu-satunya seringkali dipandang sangat menyenangkan. Menjadi satu-satunya yang dicinta, yang diberi limpahan kasih sayang, hingga upaya terbaik dari orang tua. Sebab, ialah satu-satunya yang bisa menjadi harapan.  Sejenak, begitu menyenangkan menjadi anak satu-satunya. Tapi tahukah, bahwa tak selamanya indah menjadi satu-satunya. Sebab, pundak terasa lebih berat. Harapan orang tua, keluarga, hanya bertumpu padanya. Tatkala memiliki masalah, tiada yang dapat diajaknya sekadar berbicara ataupun bertukar cerita. Tak jarang air mata disimpan sendiri, sebab tiada orang yang bisa ia ajak berbagi. Anak semata wayang. Tak kukatakan semua memiliki kesamaan watak, tapi aku hanya ingin berbagi bagaimana karakter si 'anak pertama' versiku.  Sejak kecil, ketika ayah pergi dan pulang membawa makanan, aku-lah satu-satunya yang dengan antusias diberi. Akulah satu-satunya yang menerima. Tiada rebutan antar adik kakak, pun adegan memotong kue lumpur satu bagi tiga atau lima. Mana

Melepas, Tak Menghempas

Tersadar sepenuhnya, bahwa pertemuan merupakan hal paling dinanti bagi siapapun yang telah lama terpisah oleh jarak. Tapi, bagaimana ceritanya tatkala pertemuan terjadi, setelah hati ikut pula berhenti tertaut?  Saat perpisahan kala itu, tiada sepatah kata keluar dari mulut engkau. Bahkan tatap mata saja tidak. Lalu, empat tahun jarak membentang di antara rongga rindu yang menggebu. Engkau sibuk dengan dunia yang baru, aku sibuk dengan duniaku.  Empat tahun, engkau sibuk menerka rasa sesal di ulu hati yang semakin ngilu. Aku tertawa dengan pencapaian untuk membalas egoku yang pernah tersakiti olehmu. Engkau sibuk menyimpan rasa rindu yang sudah membiru. Aku membakar rasa rindu yang sudah memburu. Engkau menghabiskan waktu berkelakar dengan amarah sebab rasa bersalah. Aku tersenyum sumringah sebab air mata menetespun sudah lelah. Kemudian, sebuah pertemuan kembali membuat hati kita berdarah. Sebab, sakit yang dirasakan masih saja sama. Rupanya, usahaku membunuh rindu adalah kesia-siaan

Hutan, Separuh Napas Manusia

Menurut UU No 41 Tahun 1999, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan Indonesia sering dikatakan sebagai paru-paru dunia. Bagaimana tidak, menurut data FAO, luas hutan Indonesia mencapai 92 juta ha pada 2020. Luasan hutan Indonesia menjadi yang terbesar kedelapan di dunia. Dengan luasan yang cukup besar ini, maka hutan di Indonesia sangat berpengaruh bagi stabilitas ekosistem makhluk hidup di dunia. Hutan menyimpan banyak sekali sumber kehidupan. Udara bersih yang terjaga, air yang melimpah, pun satwa yang sejahtera. Apabila semua sumber kehidupan tersebut seimbang, maka dapat menyokong kehidupan manusia secara optimal.  Pohon dapat memberikan suplai oksigen yang melimpah. Melalui mekanisme fotosintesis, pohon menggunakan karbondioksida yang merupakan gas berbahaya hasil pembakaran menjadi oksigen yang aman dihirup o

Bersyukur

Rasanya, hidup yang sedang dijalani banyak diisi dengan keluhan. Menangis, menggerutu, dan menyalahkan keadaan. Merasa paling malang dibandingkan manusia seantero bumi. Padahal, belum tentu menjadi manusia paling menyedihkan se dunia.  Kemudian, tertampar tatkala tidak sengaja membaca sebuah postingan. Sesuatu menyedihkan sedang diberitakan. Seorang kurir meninggal dunia karena kelelahan . Aih, seram sekali. Karena beban kerja berlebih, hingga letih melilit sakit. Kemudian, tumbang sebab raga tak mampu menahan lagi. Demi sesuap nasi, hingga akhirnya mengorbankan nyawa. Semoga Allah memberinya surga. Sebab, ia dipanggil tatkala sedang bekerja.  Tertampar hati ini. Banyak sekali mengeluh. Merasa materi yang dimiliki kurang, bahagia tak sepenuhnya, lelah belajar, dan lain sebagainya. Gaya hidup yang hedon. Makan harus tiga kali sehari dengan lauk ayam ataupun ikan. Padahal, di luar sana masih banyak yang cukup sekadar meneguk segelas air, ataupun menyendok sesuap nasi. Astaghfirullah . Se

Skripsi, Apa Kabar?

Awal Februari sudah mendengar kabar teman sekelas yang telah menyelesaikan skripsi dan baru saja selesai melaksanakan seminar hasil. Sedang aku, masih sibuk menentukan bagaimana caraku untuk memulai mengerjakannya. Januari awal, terakhir kali aku membuka draft skripsi yang membuatku mual itu. Meskipun sudah kuberi nama “skripsweet” di folder, tetapi tetap saja rasanya tidak ada manis-manisnya. Memang salahku, sejak menentukan judul sudah ada rasa berat hati dan keraguan. Judul yang bagiku terlalu kompleks, literatur yang tidak banyak, hingga proses pengambilan data yang lama. Membuatku berpikir dua kali untuk mengambil judul itu. Tapi, apalah daya dosen pembimbing meminta aku dan teman-teman seperbimbingan untuk penelitian dengan cara menanam. Hati kecilku berteriak ingin sebatas mengambil data sekunder. Yasudah, tak apa. Sedikit menyesal, karena aku yang tidak berani dengan pendapatku. Merasa tidak enak dengan dosen. Sekarang, ketika menjalaninya justru berat hati. Aduh, malas

Manis

Sudah berapa air mata mengagungkan sabda? Meraung setiap rumit ditelan pahit. Sebab, segala ingin hanya berlalu angin. Sebab, perihal harap hanya berujung ratap. Usai menulis mimpi, nyatanya tak sesuai ekspektasi. Padahal, rasa pahit tak mesti sakit. Tatkala engkau menelan obat, rasa pahit menyeruak. Padahal, ia adalah salah satu rasa menuju pulih. Biarkan pahit itu sampai di tenggorokan, dan bekerja menyembuhkan apa yang kau keluhkan. Pun tak semua manis adalah baik. Tatkala engkau candu akan manisnya minuman kemasan, kau teguk berliter dalam semalam. Maka, selamat datang berbagai penyakit yang akan menghadirkan pahit di akhir. Pun setiap jalan kehidupan. Manis berlebih juga tak selamanya berujung apik. Sesekali merasakan pahit agar segala luka kembali pulih.