Langsung ke konten utama

Mencoba Bercerita #2

Hampir saja saya terlupa menulis kembali di hari kedua ini. Padahal baru hari kedua, tapi sudah mau tumbang saja, hahaha. Kalau ditanya apakah hari-hari saya full produktif? Mungkin saya hanya bisa menjawab dengan tertawa. Menjadi serius terus menerus agaknya cukup melelahkan. Maka dari itu, saya mencoba sedikit lebih rileks untuk menghadapi apapun termasuk obrolan mulai awal tahun ini.

Setelah pulang dari rumah tetangga tadi sore, saya dan kedua orang tua mengobrol ringan di ruang tamu. Yang satu sembari menikmati biskuit r*ma kelapa dan minum teh, yang satu rebahan di lantai musabab cuaca Madiun tengah panas sekali. Sedangkan saya duduk di kursi sembari menaikkan satu kaki dan membawa botol minum berisi air putih. Obrolan kami memang tidak pernah direncanakan, selalu mengalir begitu saja.

“Bagaimana sal? Sudah berhenti mengajar?” Tanya ibu. Saya hanya mengangguk. “Sepertinya murid-murid saya takut sama saya, bu.” Saya melanjutkan. “Loh, kenapa bisa?” Ibu saya kembali bertanya. “Saya galak kalau jadi guru. Sudah dua kali memberi hukuman push up kepada mereka.” Jawab saya sembari terkekeh. Ayah hanya menjadi pendengar setia obrolan kami. Ibu menjawab dengan tawa.

Tiba-tiba muncul topik obrolan tentang pernikahan. “Saya kemarin lihat postingan nikahan kakak tingkat yang tema nikahannya simple.” Saya mengawali. “Dia hanya akad nikah di KUA, tanpa make up menor, hanya memakai baju casual yang digunakan sehari-hari.” Lanjut saya. “Oh ya? Kamu mau nikah begitu?” Respon ibu saya dengan tanya. “Boleh, kalo diperbolehkan, hehehe,” Jawab saya, kemudian meneguk air putih. “Kemarin saya juga lihat ada nikahan yang menu makanannya tidak ribet dan mengenang masa kecil. Mereka membawa gerobak siomay berikut dengan abang yang menjual. Selain siomay ada juga cimol, es dawet, nasi goreng, dan apa lagi ya.. saya lupa,” Saya melanjutkan. “Oh, boleh. Ayah juga kepikiran kalo kamu nikah nanti menu makanannya seperti itu.” Ayah menyahut. “Ijab qobulnya di masjid mana?” Ibu bertanya kembali.

Sungguh obrolan kami lebih panjang dari apa yang saya ceritakan. Tapi sebelum saya menceritakan lebih panjang, mungkin harus saya hentikan saat ini juga. Karena topik obrolan kami sudah sangat halu. Membicarakan pernikahan, padahal calonnya saja belum ada. Hadeh…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melepas, Tak Menghempas

Tersadar sepenuhnya, bahwa pertemuan merupakan hal paling dinanti bagi siapapun yang telah lama terpisah oleh jarak. Tapi, bagaimana ceritanya tatkala pertemuan terjadi, setelah hati ikut pula berhenti tertaut?  Saat perpisahan kala itu, tiada sepatah kata keluar dari mulut engkau. Bahkan tatap mata saja tidak. Lalu, empat tahun jarak membentang di antara rongga rindu yang menggebu. Engkau sibuk dengan dunia yang baru, aku sibuk dengan duniaku.  Empat tahun, engkau sibuk menerka rasa sesal di ulu hati yang semakin ngilu. Aku tertawa dengan pencapaian untuk membalas egoku yang pernah tersakiti olehmu. Engkau sibuk menyimpan rasa rindu yang sudah membiru. Aku membakar rasa rindu yang sudah memburu. Engkau menghabiskan waktu berkelakar dengan amarah sebab rasa bersalah. Aku tersenyum sumringah sebab air mata menetespun sudah lelah. Kemudian, sebuah pertemuan kembali membuat hati kita berdarah. Sebab, sakit yang dirasakan masih saja sama. Rupanya, usahaku membunuh rindu adalah kesia-siaan

Ego

Menjadi anak satu-satunya seringkali dipandang sangat menyenangkan. Menjadi satu-satunya yang dicinta, yang diberi limpahan kasih sayang, hingga upaya terbaik dari orang tua. Sebab, ialah satu-satunya yang bisa menjadi harapan.  Sejenak, begitu menyenangkan menjadi anak satu-satunya. Tapi tahukah, bahwa tak selamanya indah menjadi satu-satunya. Sebab, pundak terasa lebih berat. Harapan orang tua, keluarga, hanya bertumpu padanya. Tatkala memiliki masalah, tiada yang dapat diajaknya sekadar berbicara ataupun bertukar cerita. Tak jarang air mata disimpan sendiri, sebab tiada orang yang bisa ia ajak berbagi. Anak semata wayang. Tak kukatakan semua memiliki kesamaan watak, tapi aku hanya ingin berbagi bagaimana karakter si 'anak pertama' versiku.  Sejak kecil, ketika ayah pergi dan pulang membawa makanan, aku-lah satu-satunya yang dengan antusias diberi. Akulah satu-satunya yang menerima. Tiada rebutan antar adik kakak, pun adegan memotong kue lumpur satu bagi tiga atau lima. Mana

Manis

Sudah berapa air mata mengagungkan sabda? Meraung setiap rumit ditelan pahit. Sebab, segala ingin hanya berlalu angin. Sebab, perihal harap hanya berujung ratap. Usai menulis mimpi, nyatanya tak sesuai ekspektasi. Padahal, rasa pahit tak mesti sakit. Tatkala engkau menelan obat, rasa pahit menyeruak. Padahal, ia adalah salah satu rasa menuju pulih. Biarkan pahit itu sampai di tenggorokan, dan bekerja menyembuhkan apa yang kau keluhkan. Pun tak semua manis adalah baik. Tatkala engkau candu akan manisnya minuman kemasan, kau teguk berliter dalam semalam. Maka, selamat datang berbagai penyakit yang akan menghadirkan pahit di akhir. Pun setiap jalan kehidupan. Manis berlebih juga tak selamanya berujung apik. Sesekali merasakan pahit agar segala luka kembali pulih.