Langsung ke konten utama

Postingan

Duduk di Kedai Kopi

Kira-kira sebodoh apakah aku? Setiap langkah kaki menuju jalanan kota, harapku selalu bertemu dirimu dengan keadaan yang tiba-tiba. Minimal, aku bisa melihat sosokmu terkini. Walaupun aku sudah hafal betul senyumanmu, tapi aku tak pernah bosan melihatnya, lagi dan lagi. Namun, apalah daya. Di antara ratusan ribu manusia yang menjelajahi kota, aku selalu berharap ada kamu salah satunya. Seperti yang ku lakukan sekarang, menyendiri dengan tujuan menenangkan isi kepala dari berbagai cengkrama. Nyatanya, isi kepalaku semakin bising meski aku sudah duduk mojok di jendela kedai kopi kesukaanku.  Jumat, 12 April 2024
Postingan terbaru

Merefleksikan Pertemuan

 "Aku tau bagaimana ada di posisimu, pasti memerlukan waktu yang cukup lama untuk benar-benar lupa," Ujar salah seorang temanku. Tak dipungkiri, menyingkirkan perasaan cinta memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, izinkan aku untuk terus berusaha. Hingga kemudian Tuhan berkata, "Kulapangkan dadamu, Kujadikan ikhlas hatimu." Walaupun tidak tahu kapan itu akan terjadi. Pertemuan malam ini, ketika kita rekan satu kelas kembali bercengkrama. Membahas kondisi terkini, atau sejenak memelihara memori empat tahun silam.  Topik obrolan kita tak jauh perihal masa lalu. Aku kembali memanggil memori itu, lagi. Tak terkecuali tentangmu. Tiga bulan, kesibukan tak lantas melepaskanmu dari ingatan. Aku tidak tahu jenis kenangan seperti apa yang lantas membuatku tak kunjung melupakanmu. Kita hanya bercengkrama melalui pesan singkat, saling mencuri pandang saat bertemu, berkabar melalui telepon. Kita tak pernah saling memeluk, ataupun menggenggam tangan. Kita tak benar-b

Dear, Mas.

Aku tidak akan bercerita dengan bahasa yang indah, musabab menulis tentangmu seharusnya sudah berhenti aku lakukan sejak terhitung tanggal 29 Desember 2023 pukul 00.00 WIB. Sejak saat itu juga seharusnya aku tidak lagi mencari kabarmu, mengamati perkembanganmu. Mungkin ini bagian dari proses. Biarkan aku menulis tentangmu lagi untuk saat ini. Setidaknya sampai perasaan dan akal sehatku benar-benar menerima kehilangan ini. Blokir, memang salah satu ikhtiarku untuk melenyapkan namamu di relung pikiran. Tapi tak lantas segera berhasil melenyapkannya di rongga hati sana. Bahkan ketika mendengar namamu saja, nyeri sekali dadaku. Sakit sekali. Harus kubiarkan diri berbaring seharian untuk meredakan sakitnya. Dan aku hari ini kembali menyelinap di antara akun sosial mediamu. Aku masih bisa mengaksesnya menggunakan akunku yang lain. Ah, sekali lagi maafkan aku karena belum bisa benar-benar menghentikan gerak tanganku untuk tidak mencarimu.  Bodohnya, aku menemukan sebuah foto tangan yang salin

Mencoba Bercerita #2

Hampir saja saya terlupa menulis kembali di hari kedua ini. Padahal baru hari kedua, tapi sudah mau tumbang saja, hahaha. Kalau ditanya apakah hari-hari saya full produktif? Mungkin saya hanya bisa menjawab dengan tertawa. Menjadi serius terus menerus agaknya cukup melelahkan. Maka dari itu, saya mencoba sedikit lebih rileks untuk menghadapi apapun termasuk obrolan mulai awal tahun ini. Setelah pulang dari rumah tetangga tadi sore, saya dan kedua orang tua mengobrol ringan di ruang tamu. Yang satu sembari menikmati biskuit r*ma kelapa dan minum teh, yang satu rebahan di lantai musabab cuaca Madiun tengah panas sekali. Sedangkan saya duduk di kursi sembari menaikkan satu kaki dan membawa botol minum berisi air putih. Obrolan kami memang tidak pernah direncanakan, selalu mengalir begitu saja. “Bagaimana sal? Sudah berhenti mengajar?” Tanya ibu. Saya hanya mengangguk. “Sepertinya murid-murid saya takut sama saya, bu.” Saya melanjutkan. “Loh, kenapa bisa?” Ibu saya kembali bertanya. “S

Mencoba Bercerita #1

Ketika saya memutusan untuk mencoba kembali menulis, ada rasa ragu menyelinap disana. “Bagaimana jika saya tidak konsisten? Bagaimana jika hanya semangat di awal saja?” Tapi, segala kekhawatiran itu saya tepis dengan kalimat “mulai saja dulu”. Saya akan memulai #30haribercerita dengan cerita tidak penting yang baru saya alami kemarin. Malam tahun baru identik dengan perayaan, bersenang-senang. Tapi, bukan itu poin yang ingin saya sampaikan. Bagi saya, malam tahun baru adalah waktu yang tepat untuk mencari makanan/minuman diskon dan berburu promo. Beberapa brand menawarkan potongan harga yang sangat menggiurkan otak-otak konsumtif saya, ah-saya ralat, saya tidak sekonsumtif itu. Sebut saja brand kopi J, dan brand kopi P. Saya yang merupakan anak super mager ini ingin mencari minuman kopi yang bisa langsung saya minum tanpa pergi ke store-nya. Dan brand yang tersedia untuk delivery order di daerah saya yaitu brand P. Lumayan, cukup merogoh kocek sebesar 25 ribu rupiah saya sudah mend

Ego

Menjadi anak satu-satunya seringkali dipandang sangat menyenangkan. Menjadi satu-satunya yang dicinta, yang diberi limpahan kasih sayang, hingga upaya terbaik dari orang tua. Sebab, ialah satu-satunya yang bisa menjadi harapan.  Sejenak, begitu menyenangkan menjadi anak satu-satunya. Tapi tahukah, bahwa tak selamanya indah menjadi satu-satunya. Sebab, pundak terasa lebih berat. Harapan orang tua, keluarga, hanya bertumpu padanya. Tatkala memiliki masalah, tiada yang dapat diajaknya sekadar berbicara ataupun bertukar cerita. Tak jarang air mata disimpan sendiri, sebab tiada orang yang bisa ia ajak berbagi. Anak semata wayang. Tak kukatakan semua memiliki kesamaan watak, tapi aku hanya ingin berbagi bagaimana karakter si 'anak pertama' versiku.  Sejak kecil, ketika ayah pergi dan pulang membawa makanan, aku-lah satu-satunya yang dengan antusias diberi. Akulah satu-satunya yang menerima. Tiada rebutan antar adik kakak, pun adegan memotong kue lumpur satu bagi tiga atau lima. Mana

Melepas, Tak Menghempas

Tersadar sepenuhnya, bahwa pertemuan merupakan hal paling dinanti bagi siapapun yang telah lama terpisah oleh jarak. Tapi, bagaimana ceritanya tatkala pertemuan terjadi, setelah hati ikut pula berhenti tertaut?  Saat perpisahan kala itu, tiada sepatah kata keluar dari mulut engkau. Bahkan tatap mata saja tidak. Lalu, empat tahun jarak membentang di antara rongga rindu yang menggebu. Engkau sibuk dengan dunia yang baru, aku sibuk dengan duniaku.  Empat tahun, engkau sibuk menerka rasa sesal di ulu hati yang semakin ngilu. Aku tertawa dengan pencapaian untuk membalas egoku yang pernah tersakiti olehmu. Engkau sibuk menyimpan rasa rindu yang sudah membiru. Aku membakar rasa rindu yang sudah memburu. Engkau menghabiskan waktu berkelakar dengan amarah sebab rasa bersalah. Aku tersenyum sumringah sebab air mata menetespun sudah lelah. Kemudian, sebuah pertemuan kembali membuat hati kita berdarah. Sebab, sakit yang dirasakan masih saja sama. Rupanya, usahaku membunuh rindu adalah kesia-siaan